Anies Rasyid Baswedan, muda usia, tua pengalaman dan prestasi

Anies Rasyid Baswedan, muda usia, tua pengalaman dan prestasi

Pendahuluan.

Inspirasi kami dalam menulis tentang Anies Baswedan datang pada saat kami mengikuti kegiatan Karya Wisata Pasis Sekkau angkatan ke 86 pada awal oktober yang lalu.   Pada saat itu salah satu objek yang kami kunjungi adalah Universitas Paramadina Jakarta, dimana Anies Baswedan sebagai rektornya.    Pemilihan Paramadina sebagai objek kunjungan ini memang sangat cerdas dan cemerlang.   Paramadina sebagai institusi telah belajar untuk lolos dari situasi tersulitnya pada saat krisis moneter 1998 menuju kecemerlangannya sekarang.  Sama seperti kondisi saat ini yang sangat kritis bagi TNI AU.   Semoga seluruh pasis sebagai tunas muda pengawal dirgantara memperoleh secercah pelajaran dari institusi yang bernama Paramadina di bawah kepemimpinan seorang muda bernama Anies r Baswedan.

Kami memang sering mendengar nama Anies Baswedan baik di layar kaca maupun di media cetak.   Terlebih lagi pada saat beliau memimpin debat Capres-Cawapres beberapa waktu yang lalu di televisi.   Kami begitu terkesan terhadap sosok Anies Baswedan, dengan kemampuan berbicara dan prestasinya yang luar biasa dari sisi kualitas dan kuantitas.   Ditambah lagi setelah kami mengetahui usia yang bersangkutan ternyata yang masih 40-an awal.   Semoga tulisan ini bisa menginspirasi rekan perwira siswa dan siapapun yang ingin maju dan sukses di usia muda.   Sosok Anies Baswedan benar-benar membuktikan kata-kata yang tertulis di depan kelas sekkau yang setiap hari kita baca sebelum masuk ke kelas.  “Knowledge is power but character is more”….

Early life of Anies R Baswedan…

Anies R Baswedan Lahir pada tanggal 7 Mei 1969, adalah rektor Universitas Paramadina, direktur riset pada The Indonesian Institute.

Riwayat pendidikan dan pekerjaannya, Anis pernah bekerja sebagai National Advisor bidang desentralisasi dan otonomi daerah di Partnership for Governance Reform, Jakarta. Selain itu pernah juga menjadi peneliti utama di Lembaga Survei Indonesia.

Di tahun 2005 ia menjadi peserta Gerald Maryanov Fellow di Departemen Ilmu Politik di Universitas Northern Illinois sehingga dapat menyelesaikan disertasinya tentang “Otonomi Daerah dan Pola Demokrasi di Indonesia”.    Gelar master didapat dari School of Public Policy, Universitas Maryland dan gelar Sarjana Ekonomi didapat dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada.

Semasa kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), dia aktif di gerakan mahasiswa dan menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa UGM.     Sewaktu menjadi mahasiswa UGM, dia mendapatkan beasiswa Japan Airlines Foundation untuk mengikuti kuliah musim panas bidang Asian Studies di Universitas Sophia di Tokyo, Jepang. Ketika SMA, Anis pernah mengikuti program pertukaran pelajar AFS Intercultural Programs, yang di Indonesia diselenggarakan oleh Bina Antarbudaya, selama satu tahun di Milwaukee Amerika.

Setelah lulus kuliah di UGM pada tahun 1995, Anis bekerja di Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi di UGM.    Anis mendapatkan beasiswa Fulbright untuk pendidikan Master Bidang International Security and Economic Policy di University of Maryland, College Park. Sewaktu kuliah, dia dianugerahi William P. Cole III Fellow di Maryland School of Public Policy, ICF Scholarship, dan ASEAN Student Award.

Di Amerika ia juga aktif di dunia akademik dengan menulis sejumlah artikel dan menjadi pembicara dalam berbagai konferensi (mungkin disinilah salah satunya dia mendapatkan kemampuan public speaking yang luar biasa).    Ia banyak menulis artikel mengenai desentralisasi, demokrasi, dan politik Islam di Indonesia.     Artikel jurnalnya yang berjudul “Political Islam: Present and Future Trajectory” dimuat di Asian Survey, sebuah jurnal yang diterbitkan oleh Universitas California, Artikel Indonesian Politics in 2007: The Presidency, Local Elections and The Future of Democracy diterbitkan oleh BIES, Australian National University (kemampuan Anies menjadi lengkap, cakap dalam berbicara serta pandai dalam membuat tulisan).

Anis adalah anak pertama dari pasangan Drs. Rasyid Baswedan, SU (Dosen Fak Ekonomi Universitas Islam Indonesia) dan Prof. DR. Aliyah Rasyid, M.Pd. (Dosen Fak Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta). Ia menikah dengan Fery Farhati, S.Psi, M.Sc. dan dikaruniai tiga anak: Mutiara Annisa, Mikail Azizi, dan Kaisar Hakam. Anis dan keluarga tinggal di Jakarta. Anis adalah cucu dari AR Baswedan, pejuang nasional yang merupakan salah satu founding-fathers Republik Indonesia serta yang pernah menjadi -diantaranya- Menteri Penerangan di masa-masa perjuangan kemerdekaan Indonesia (dalam hal ini teori genetis kepemimpinan mungkin ada benarnya juga).

Baswedan Family

Kakeknya Abdurrahman Baswedan disapa dengan panggilan Pak AR adalah aktivis pergerakan yang merupakan salah seorang yang terlibat pendirian republik ini.     Pak AR adalah keturunan Arab, di tahun 1934 menggerakkan pemuda-pemuda keturunan Arab untuk turun kelas dari kelas dua Timur Asing menjadi Inlander atau pribumi.    Sebuah semangat pembauran dan nasionalisme.      Ide itu banyak menjadi problem di komunitas Arab.    Tetapi Pak AR yang juga menjadi anggota BPUPKI dan Dewan Konstituante menganggap itu sebagai panggilan nativisme yang wajar.      Kakek Anies itu merasa setiap keturunan Arab yang berdiaspora ke tanah Indonesia tak pernah datang dengan membawa pasangan perempuan.       Oleh karena itu Indonesia haruslah dipandang sebagai tanah ibu, ataupun tanah air kedua seperti layaknya sebuah kampung halaman sendiri.

Nenek Anies, tak kalah perkasa.     Seorang tokoh pergerakan perempuan di tahun 20-an. Kolaborasi pasangan ini acapkali menyuguhkan debat seru di meja makan di rumah mereka di Dagen belakang Malioboro Yogyakarta.     Anies sejak kecil besar dalam rumah itu. Merasakan pelbagai rupa perangai dan pikiran para kerabat dan kolega keluarga besarnya yang menjamu siapa saja layaknya keluarga aktivis.      Anies kecil sebagai anak sulung gemar mendampingi kakeknya menjadi juru ketik untuk setiap urusan surat menyurat kakeknya dengan pelbagai pihak (rupanya sejak kecil Anies sudah terbiasa bergaul serta berinteraksi dengan lingkungan aktivis, cendekiawan dan negarawan).

Kakek dan nenek itu mempunyai sepuluh orang anak, salah satunya bernama Rasyid Baswedan, ayah Anies.   Orangtua Anies selain orang pergerakan juga merupakan akademisi.     Ayah berprofesi sebagai seorang dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia. Ibunya Aliyah Rasyid seorang profesor doktor bidang sosial ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.     Pamannya Sam-hari Baswedan adalah pendiri Jamaah Salahudin UGM Yogya-karta, sebuah komunitas kajian keislaman yang sangat terkenal (Anies juga dibesarkan dalam keluarga cendekiawan, inilah mungkin yang menyebabkan semangat keilmuannya serta minatnya untuk menuntut ilmu menjadi begitu besar).

Anies Struggle, From Zero to Hero…

 

Jiwa aktivisme mengalir dalam sekujur kepribadian Anies Baswedan. Ia tumbuh menjadi pemuda aktif. Pulang dari program pertukaran pelajar AFS ke Amerika, Anies melanjutkan pendidikan ke Fakultas Ekonomi UGM di tahun ‘89.      Jiwa per-gerakannya mendapatkan saluran dalam pelampiasan dan lahan subur di kampus bergengsi di kota jogja  itu.

Saat itu di tahun ‘92 universitas diperkenalkan konsep senat mahasiswa oleh pemerintah Orde Baru.   Kampus-kampus memandang konsep itu dengan perasaan skeptis dan ogah-ogahan.  Takut hanya akan bernasib serupa seperti KNPI yang menjadi corong dan perawat ide penguasa.  Tetapi menurut Anies, UGM kala itu memberanikan diri jadi yang pertama menerima konsep itu dengan sejumlah pikiran serta perspektif yang lain.

Anies terpilih menjadi ketua senat pertama ketika itu (bakat kepemimpinannya sudah terlihat dari awal).   Dikepalanya sudah terpikir untuk memosisikan senat sebagai oposisi.   “Kaum muda mahasiswa tanpa sikap opisisi kritis rasanya bukanlah kaum muda,” ucapnya.

Menurut Anies, gara-gara sikap itu senat menjadi lembaga yang tidak berjarak dengan aktivis yang teriak-teriak dan berdemo di jalan serta kelompok diskusi yang ada di Jogja.
UGM menurut Anies menjadi pionir yang membuat konsep senat akhirnya mau diterima universitas-universitas lain.  Senat yang mestinya menjadi alat kontrol pemerintah berubah format baru menjadi wahana pergerakan mahasiswa yang bersifat aktif dan kritis.

Harus dicatat hal itu berkat UGM.     Bahkan konsep BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) itu pertama kali lahir di UGM, jelas Anies yang menjadi diwisuda sarjana di tahun 1995.

Sebagai aktivis mahasiswa corak Anies agak sedikit berbeda.   Sejak dini Anies memang gandrung dengan dunia penelitian. Saat mahasiswa ia aktif menjadi peneliti di PAU (Pusat Antar Universitas) UGM. Selain itu sempat menyibukkan diri di Tanah Merdeka. Sebuah komunitas kreatif anak muda yang ditukangi oleh Ishadi SK yang ketika itu menjadi kepala TVRI di Yogyakarta (beliau memang terkenal kreatif menelorkan ide-ide baru yang cemerlang).

Anies tidak terlalu suka memperjuangkan ide-ide perlawanan mengandalkan retorika ala demo di jalanan.  Menurutnya hal itu hanya akan menjadi bulan-bulanan Orde Baru dan hanya akan membuahkan popor senjata aparat.  Karena itu ia lebih senang melakukan perlawanan berbasiskan metode ilmiah seperti riset.  Pendek kata, anies lebih moderat sifatnya.

Aktivisme saja menurutnya tidak pernah cukup. Perlu alat yang disebutnya sebagai metode ilmiah.  Generasi Anieslah di UGM yang telah membuat penelitian heboh bagaimana tata niaga BPPC dibawah kontrol anak kesayangan Soeharto yakni Tommy Soeharto telah terbukti menjadi alat penghisap uang negara serta melakukan mark-up secara besar-besaran.

Anies meneliti hal itu hingga keliling pabrik cengkeh di Indonesia. Mengobservasi secara detail bagaimana BPPC melakukan praktik korupsi tersebut mulai dari pemetikan cengkeh, diayak, dihitung kandungan airnya hingga proses penjualan ke industri rokok.

“Penelitian itu kami bagi-bagikan.    Hasilnya luar biasa. Ini membuat aktivis bisa berbicara dengan legitimasi akademik yang tidak terbantahkan.    Tidak ada siapapun yang bisa membantah hal itu.   Aktivitas riset yang semangatnya perlawanan terhadap Soeharto,” kata Anies (ini membuktikan bahwa Anies juga pandai memunculkan ide baru serta berani mewujudkannya).

Selepas sarjana, Anies berminat menjadi dosen di almamaternya.   Latar belakang aktivis diakuinya membuat minatnya sedikit terhambat.  Teman-teman ketika itu menyaran-kan agar dirinya menempuh pendidikan master terlebih dahulu.  “Kalau sudah master sulit untuk ditolak.    Kalau daftar sekarang sekali ditolak maka tidak akan ada kesempatan lagi,” begitulah penuturan yang disampaikan oleh Anies Baswedan pada sebuah kesempatan.  .

Mulailah Anies merintis karir intelektual-nya di jalur sekolah.  Ia mendapatkan beasiswa Fullbright untuk bersekolah master bidang ekonomi di Amerika.   Selesai master, Anies ber-hitung ulang.   Di kepalanya muncul pertanya-an. “Jika saya pulang ke Indonesia saya tidak akan sempat lagi menjadi doktor. Saya akan terjebak banyak kesibukan.   Ia pun memutus-kan untuk bertahan sambil berpikir dan mencari kesempatan untuk menjadi doktor.

Anies berhasil melanjutkan pendidikan doktoralnya menggunakan jalur beasiswa universitas dengan syarat nilai yang sangat berat. Kesempatan itu dipenuhinya dengan penuh ketar-ketir meskipun Anies berhasil menuntaskan semuanya dengan baik. Dengan rendah hati Anies berujar bahwa doktoralnya ia lalui dengan baik karena keadaan menuntut seperti itu. “Saya kira semua orang jika dituntut dan dipepet seperti itu juga akan melakukan hal yang sama,” kata anies, menegaskan bahwa dia memang sosok rendah hati.

Anies sebenarnya besar dalam tradisi ilmu ekonomi,  tetapi saat studi doktoral ia mulai agak  berbelok masuk ke kawasan politik.   Ia merasa terlalu disibukkan oleh perkara teknis ekonomi sementara postur besar gagasan dibalik itu tak sempat dimengertinya secara baik. Jadilah ia seorang Anies Baswedan sebagaimana sekarang ini.  Seorang peneliti, pengamat politik dan bahkan secara mengejutkan kini menjadi seorang rektor.

Di tahun 2005 lalu ia bertekad meninggalkan Amerika. “It’s time to go home,” pikirnya. Sebenarnya ketika itu ia sudah punya karir baik sebagai manajer peneliti sebuah perusahaan di Chicago.  Tetapi sejak awal pekerjaan itu memang tidak pernah diniatkannya sebagai karir permanen.    “Saya bekerja untuk modal pulang. Saya bekerja di Amerika untuk mengeruk mereka bukan untuk kerja bakti disana. Indonesia is my homeland,” ungkap anies yang semakin menegaskan sikap nasionalismenya.

Pulanglah Anies ke Indonesia di tahun 2005. Saat itu Indonesia sedang ramai oleh kenaikan harga BBM.  Jalanan yang membawa Anies dari Airport sesak oleh kendaraan. Di mana-mana orang-orang terlihat tergesa mengantri BBM yang membuat macet.

Kondisi macet berlangsung panjang, sepanjang lamunan Anies tentang apa yang akan dilakukannya di Jakarta yang masih asing. Menginaplah ia di rumah seorang paman. Seorang kolega intelektualnya Eep Saefullah Fatah memastikan tempat Anies boleh berkarir menjadi peneliti. Berlabuhlah ia disana, sambil mencari rumah kontrakkan untuknya dan keluarganya.Itulah masa-masa awal anies dan keluarga bermukim di Jakarta.

Tak terlalu lama Anies Baswedan mulai menapaki bab baru dalam hidupnya. Ia memang selalu ingin menjalani hidup dengan tiga kredo: memperkaya secara intelektual, bagus secara finansial dan memiliki pengaruh sosial yang solid.    Dua sudah didapatkannya saat bekerja di Amerika, tapi kredo terakhir hanya akan bisa disumbangkannya untuk Indonesia.

Kini dua tahun setelah kepulangannya, selain berprofesi sebagai intelektual, Anies menjalani kejutan hidup baru yakni memimpin sebuah universitas bernama Paramadina. Sebuah kampus yang dibangun dengan modal warisan inteletual dan nama besar almarhum Nurcholis Madjid yang mendunia. Tak banyak orang menyangka Anies Baswedan akan bercokol di universitas tersebut.  Ia sendiri juga tak pernah berpikir akan menjalani karir sebagai rektor di tempat itu.  Yang ia duga kira-kira ia dipilih karena kemudaannya dan bekal pendidikannya yang mumpuni serta pengalaman kerja di Amerika.

Dua bulan sudah Anies menjadi rektor di Paramadina. Sebuah tantangan mengasyikkan disebutnya sedang dijalaninya. Bila menjadi peneliti dan intelektual cukup dengan bekerja, menggunakan metode yang baik dan berkarya, maka menjadi rektor membawanya pada dunia baru. Dunia pembuktian. Melanjutkan nasib Paramadina yang penuh corak intelektual berkembang sehat secara bisnis maupun intelektual sehingga dapat terus eksis.

Anies memulai dengan memancangkan visi. Menyosialisasi-kan ide-ide besarnya menjadikan Paramadina yang katanya hendak dibawanya menjadi universitas kelas dunia yang mampu menyumbang riset-riset bagi kesejahteraan manusia di kolong langit Indonesia dan dunia. Tentu dua bulan masih terlalu pagi bagi Anies bercerita banyak tentang apa yang sudah dibuatnya sebagai rektor. Yang jelas hidup Anies Baswedan tampaknya tengah berada dalam sentrum pusaran aktivisme intelektual.

Prestasi dan visi anies

Dalam usia yang belum genap 40 tahun, Anies Baswedan masuk 100 intelektual dunia versi jurnal Foreign Policy (FP) di Amerika Serikat. FP memasukkan nama Anis bersama ilmuwan Samuel Huntington, Francis Fukuyama, Thomas Friedman, dan sederet ilmuwan penting dunia lainnya.    Anies kaget, tidak mengira karena dirinya juga tidak tahu bahwa dia dinominasikan.  Anies merasa masih banyak yang lebih pantas.   Anies tidak tahu,dan tida mengerti prosesnya   Kalau ada penghargaan ia anggap sebagai perwakilan Indonesia. Dan hal Itu bukan karena prestasinya semata ,tetapi karena dukungan dari bangsa.

Jurnal Foreign Policy yang memasukkan anies dalam 100 tokoh intelektual cukup dikenal dan dibaca luas. Ini untuk referensi jika bicara masalah hubungan internasional, masalah global. Jurnal ini diterbitkan oleh Carnegie Endowment for International Peace, salah satu think tank yang berpengaruh di Amerika. Hasil ulasan cukup dikenal dan sangat kritis terhadap Bush (Presiden AS George W Bush). Jadi,ini sebuah think tank yang berseberangan dengan Bush mantan presiden Amerika yang lalu menjabat.

Betapa rindunya bangsa ini untuk kembali diperhitungkan dunia.   Diplomasi buruk, politik luar negeri yang sarat kecaman, hingga frustrasi minimnya prestasi olahraga, membuat Indonesia seperti berada di titik nol atau titik nadir didalam pergaulan dunia internasional.

Tentang riwayat pendidikannya

Anies dihargai dunia bukan hanya karena intelektualnya yang cemerlang, tetapi juga karena keterlibatannya dalam berbagai kegiatan yang mendorong demokratisasi di Indonesia. Sejak mahasiswa, Anies terlibat dalam gemuruh perubahan.  Sebagai anak muda, ia memendam kegelisahan, derap langkahnya adalah perubahan. Tatkala menjadi Ketua Senat Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), ia menjadi satu dari sekian aktivis yang berhadapan langsung dengan barisan serdadu pembela Soeharto, jauh sebelum sang diktator lengser pada 1998, anies telah berani mengambil langkah yang kontoversial.

Sewaktu menjadi mahasiswa UGM, ia mendapatkan beasiswa Japan Airlines (JAL) untuk mengikuti kuliah musim panas bidang Asian Studies di Sophia University di Tokyo, Jepang. Setelah lulus kuliah di UGM pada tahun 1995, Anies bekerja di Pusat Antar Universitas Studi Ekonomi di UGM. Anies mendapatkan beasiswa Fulbright untuk pendidikan Master Bidang International Security and Economic Policy di University of Maryland, College Park. Sewaktu kuliah, dia dianugerahi William P. Cole III Fellow di Maryland School of Public Policy, ICF Scholarship, dan ASEAN Student Award. Ia juga aktif di dunia akademik di Amerika dimana artikel-artikelnya dipresentasikan di berbagai konferensi. Selain itu, Anies juga banyak menulis artikel mengenai desentralisasi, demokrasi, dan politik Islam di Indonesia. Artikel jurnalnya yang berjudul “Political Islam: Present and Future Trajectory” terbit di Asian Survey, jurnal yang diterbitkan oleh University of California di Berkeley.

Berkat scholarship (beasiswa) yang diterimanya, Anies melanjutkan pendidikannya dan meraih gelas doktoralnya dari Departemen Ilmu Politik, Northern Illinois University. Selama di Amerika Serikat, ia terlibat sebagai peneliti di pusat-pusat kajian universitas, terutama yang berhubungan dengan masalah kebijakan dan pemerintahan. Ia bahkan pernah menjadi manajer riset pada asosiasi perusahaan elektronik se-dunia untuk mengembangkan disain riset, instrumen survey, dan analisis data. Anies menjadi ilmuwan yang produktif menulis di banyak jurnal internasional dan menjadi pembicara di berbagai konferensi internasional. Tahun 2007, ia diundang sebagai pembicara dalam The ASEAN 100 Leadership Forum yang mempertemukan 100 pemimpin masa depan Asia Tenggara.

Sepulang dari AS, ia menjadi penasihat pada Partnership and Goverment Reform, sebelum kemudian terlibat dalam Lembaga Survey Indonesia, dan kini menjabat Direktur Eksekutif The Indonesian Institute namun demikian anies baswedan tetap menjadi seorang yang bersahaja.

Meneladaninya

Anies Baswedan pantas dijadikan contoh dan teladan bagi gernerasi muda.  Para pemuda hendaknya memanfaatkan masa produktifnya dengan cara membekali diri dengan potensi yang dimiliki sehingga tidak menyesal di kemudian hari dan dapat mengisi waktunya.

Pergerakan aksi yang paling diminati anak muda juga harus dilandasi intelektualitas yang memadai.  Jangan sampai kegiatan tersebut hampa.   Hanya berorasi tanpa memberikan solusi.   Akhirnya, letupan emosi tak terkendali berubah menjadi anarki.  Sehingga kegiatan mulia malah kontraproduktif karena ternoda oleh perbuatan oknum-oknum tertentu.

Apa yang dilakukan Anies adalah perjalan memanfaatkan masa muda dengan hal yang berguna bagi bangsa. Indonesia membutuhkan banyak anak-anak muda sepertinya.
Di usia 38 tahun, Anies diberikan amanah memimpin Universitas Paramadina. Ia menjadi rektor termuda yang pernah ada di Indonesia.  Dengan jabatannya itu, ia mengemban tanggungjawab untuk membangun kaum terdidik dan cendekiawan yang berpikiran kritis dan mampu bersaing di kancah internasional dan sejajar dengan harvard university di Amerika.

Pendidikan, bagi Anies seharusnya tidak sekadar megah, tetapi yang terpenting adalah mampu melahirkan pemimpin-pemimpin yang peduli dengan rakyat kecil dan memiliki integritas tinggi. Menurutnya, industrialisasi pendidikan yang berlangsung saat ini telah meminggirkan kaum miskin karena hanya mereka yang datang dari kelas menengah ke atas yang dapat memperoleh pendidikan baik. Padahal, pendidikan adalah hak setiap orang. Dalam pidato kebudayaannya pada Acara 55 Tahun Taufiq Ismail Dalam Dunia Sastra, Anies menyampaikan, bahwa pendidikan adalah instrumen untuk merekayasa status sosial masyarakat. Oleh karena itu, untuk meningkatkan status sosial masyarakat yang berada di bawah, maka pendidikan harus dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.

Karena itulah, tahun ajaran 2008, Parmadina mengalokasilan 25% kursi untuk calon mahasiswa yang cerdas namun tidak mampu, yang didukung oleh program beasiswa penuh yang turut didanai perusahaan dan kaum kaya. Bagi Anies, Indonesia yang damai hanya akan dicapai tatkala ada upaya bersama untuk menanggulangi kemiskinan dan kesenjangan.  Kita harus meniru bangsa China soal ini. Bangsa China membangun tembok besar 300 tahun lebih.Sebuah bangsa tidak akan menghabiskan waktu lebih dari 300 tahun untuk menata batu bata.Jika mereka menata batu bata 300 tahun lebih, berarti dia berasumsi bahwa bangsa ini akan eksis untuk ribuan tahun selanjutnya.

Kalau tidak,tidak akan menghabiskan waktu 300 tahun untuk menata batu bata menjadi tembok. Sebuah perspektif panjang. Perspektif kita jangan (hanya) tiga atau empat tahunan, atau hanya memikirkan pilkada dan pemilu. Kalau universitas dibangun untuk mengantisipasi peluang pasar, yaitu sekadar menjajakan ijazah, kacau sudah.

Kapan kita merasakan efeknya dari jangka panjang ini,harus sambil jalan. Kalau dalam bahasa resminya,namanya visi.  Belajar dari situ,universitas ini ingin punya visi jangka panjang yang dilakukan dengan bertahap dan benar.   Mimpi itu boleh-boleh saja asal kita tahu bagaimana mewujudkannya, kalau mimpi yang tidak boleh itu mimpi yang kita tidak tahu bagaimana mewujudkannya.  Tapi, kalau kita tidak punya mimpi kolektif untuk jangka panjang, yang muncul adalah pesimisme karena kita tidak tahu mau ke mana.

Awal kemerdekaan para pemimpin menyebarkan optimisme yang sangat besar,padahal bangsa kondisinya memprihatinkan. Sementara sekarang ekonomi lebih baik, politik lebih terstruktur, kekuatan militer lebih baik, fasilitas lebih baik, tapi tidak ada optimisme kolektif. Hari ini hidup dalam pesimisme yang berlebihan. Bicara Indonesia akhirnya bicara keluhan.Menurut saya, kondisi ini harus dibalik agar muncul optimisme kolektif.

Bangsa ini sedang kaget. Dihantam krisis ekonomi, diiringi transisi politik, lalu kita serasa disoriented. Kita harus punya suasana yang membangun perasaan maju dan berkembang. Kita itu sering melihat gelas yang terisi air setengah dengan kacamata setengah kosong, bukan setengah isi.  Padahal,ini perspektifnya berbeda. Jadi, menurut saya,salah satu yang paling berpengaruh terhadap perspektif negatif ini adalah media masa. Coba Anda lihat media,berita,dan televisi.Kemudian, berikan tanda plus untuk berita optimistik dan tanda minus untuk berita pesimistik.Hampir pasti yang muncul lebih banyak minus.

Pemimpin harus membangun itu.   Kemudian, ditopang media massa. Coba sekarang buka koran,halaman politik, lalu buka halaman bisnis.Mana yang optimistik, mana yang pesimistik? Halaman politik yang diekspos problem dan untuk bisnis yang diekspos adalah yang positif.  Kenapa bisa begitu? Kalau bisnis merencanakan sesuatu, pasti jadi berita. Kalau pemda yang merencanakan sesuatu, apa jadi berita? Nggak ada.   Maka, kenapa kita menghantami diri sendiri? Self-defeating namanya. Kita menghancurkan diri kita sendiri. Ada self-defeating mechanism. Bahkan, self-fulfilling profecy, kegagalan terjadi karena kita memprediksikan kita akan gagal maka jadilah kita gagal betulan.

Bangsa Indonesia dan kepemimpinan di mata seorang anies baswedan
Menurut saya, para pemimpin harus membangkitkan optimisme dan media harus menyebarkan optimisme. Sering kali karena semangat kita di zaman dulu keoposisian, ada kekhawatiran menjadi orang optimistis, berarti menjadi pendukung pemerintah. Ada kesan jika saya optimistis, berarti saya mendukung pemerintah. Padahal, menurut saya optimistis terhadap bangsa itu berbeda dengan mendukung pemerintah pusat di jakarta.
Ini akan menjadi baik.Apabila desain institusi politik diperbaiki, demokrasi jadi lebih baik dan deliver untuk rakyat. Politik itu kan untuk menghasilkan policy yang berpihak pada rakyat. Maka, kenapa dibuat demokrasi agar kebijakan pemerintah sesuai dengan yang diinginkanrakyat.Aspek input-nya dari demokrasi sudah jadi, yaitu kebebasan berpolitik, tapi aspek output-nya yaitu praktik demokrasi yang menyejahterakan belum ada.
Kita masih perlu 2 pemilu lagi. Masih butuh waktu. Ini pemimpin kita harus punya peran.

 

 

Pandangan anies terhadap terorisme

Meski tak dipublikasikan, paper berisi kerangka kerja menganalisis terorisme tersebut mendapatkan sambutan baik dari kalangan akademisi di Negeri Paman Sam. “Mungkin, saya adalah salah satu di antara sedikit orang Indonesia yang sering diundang di Chicago, Washington, tentang situasi terakhir di Indonesia dan bagaimana kita membaca perkembangan terakhir,” kata anies baswedan dalam sebuah kesempatan.

Dalam analisis jebakan paradigma, Anies menawarkan konsep baru dalam menganalisis terorisme. Yakni, pendekatan rasional. Selama ini masyarakat selalu menganalisis terorisme hanya dengan menggunakan pendekatan kultural atau pendekatan budaya saja.

Tentang dua pendekatan itu, dia menjelaskan, penggunaan pendekatan kultural dalam menganalisis terorisme memaksa umat Islam selalu mencari pembelaan atas agamanya. “Setiap ada pelaku bom pasti yang diungkit agamanya apa, ideologinya, latar belakang pendidikannya apa. Akibatnya, para pemuka agama Islam sibuk mencari pembelaan dengan menyatakan, Islam adalah agama damai, santun, untuk meng-counter opini masyarakat yang menyerang background kulturalnya,” tandasnya. Pendekatan seperti itu juga sering digunakan ilmuwan muslim di Indonesia dan mayoritas negara di dunia.

Pendekatan rasional ialah melihat terorisme dari latar belakang kepentingan sang pelaku. Pelaku teror juga memperhitungkan efek perbuatannya pada masa depan. “Jadi pelaku bom, misalnya, akan berpikir apa yang saya dapat dengan melakukan teror seperti itu,” paparnya. Pendekatan itu lebih mampu mengungkap akar masalah dan penyebab utama terorisme.

Pendekatan rasional telah menemukan fakta empirisnya. Anies menyebut sebuah wilayah yang paling intensif terjadi bom bunuh diri adalah Lebanon. Dari data, pelaku bom bunuh diri di negara tersebut 70 persen non-muslim. Sementara pelaku muslim hanya sekitar 12 persen.

Inventor rompi bom dan pemegang rekor dunia bom bunuh diri adalah Macan Tamil, bukan Palestina. Menggunakan pendekatan kultural itu mengecohkan, karena peradaban Islam telah hidup selama15 abad, tapi baru beberapa dekade terakhir ini muncul tindak kekerasan teror. Jadi adalah salah total jika Islam lalu dianggap sebagai sumber terorisme.

“Wong berabad-abad tanpa terorisme kok sekarang tahu-tahu dituding teroris. Jadi pendekatan kultural tidak bisa menjelaskan why, when, and how muncul terorisme” jelas doktor dari Northern Illinois University itu.  Sama halnya dengan ekstremisme yang sudah hidup sejak ratusan tahun lalu dan tidak hanya ada di dalam Islam tapi juga yang lain.

Dalam kajian pendekatan rasional, fokus analisis tak hanya pada pelaku, tapi juga pada objek terorisme. Sebab, menurut mantan ketua umum Senat Mahasiswa UGM itu, peristiwa teror merupakan hasil interaksi intensif antara pelaku dan objek teror yang menjadi sasarannya.

Interaksi itu biasanya berbentuk penindasan satu pihak kepada kelompok yang lain. Hingga akhirnya terjadi perlawanan. “Karena itu, pendekatan rasional nggak laku di Amerika. Keburukan Amerika bisa terbongkar,” katanya.   Dia berharap, penggunaan pendekatan rasional bisa meluruskan semua hal yang selama ini salah yang terlanjur terjadi.

Diterbitkan oleh

zack's idea

Merupakan Blog yang memuat berbagai idea dari penulisnya...semoga bermanfaat

3 tanggapan untuk “Anies Rasyid Baswedan, muda usia, tua pengalaman dan prestasi”

  1. melihat ada sosok seperti bapak anis baswedan saya menjadi heran. heran kenapa orang seperti beliau hidup dan tinggal serta engabdi di Indonesia. beliau mungkin terlalu baik untuk bangsa ini yang pemimpinnya sangat arogan dan hanya mementingkan dirinya dan keleganya saja. bapak anis terlalu baik dan “perfect” untuk itu. jika saja waktu dapat diputar ulang saya menginginkan beliau hadir dan memiliki kematangan intelektual saat pergolakan orde lama dan orde baru. mungkin Indonesia akan sangat naju dan tidak dipandang remeh oleh bangsa lain seperti sekarang. pemikiran beliau sangat masuk akal untuk saat2 seperti ini. namun saya pesimis ini akan disambut baik oleh pemimpin2 bangsa Indonesia yang kayanya makmur,sejahtera dan berdemokrasi.sekali lagi saya mohon untuk bapak anis baswedan,bantu kami, bantu negara ini mencapai kemakmuran dan segala macam mimpi yang telah kami simpan cukup lama. terimakasih.

  2. Sedikit koreksi :

    Anies Baswedan bukan Ketua Senat Mahasiswa UGM pertama. Dia adalah Ketua Senat Mahasiswa UGM periode kedua, masa bakti 1992-1993.

    Ketua Senat Mahasiswa UGM pertama adalah Mohamad Khoiri Umar (almarhum) pada masa bakti 1991-1992. Beliau wafat pada usia muda menjelang wisuda dari FE UGM.

    Di Senat Mahasiswa UGM, Anies memulai debutnya sebagai Staf Badan Pelaksana SM UGM di bawah kepemimpinan Janoe Arijanto dan Kusuma Sp. Dan pada Pemilu Mahasiswa berikutnya terpilih sebagai Senator dari FE UGM. Pada Kongres Mahasiswa UGM ke II tahun 1992, diapun terpilih sebagai Ketua Umum yang baru menggantikan seniornya Moh Khoiri Umar.

    Tapi semua mengakui bahwa dia juga mantan Ketua SM UGM yang paling terkenal dan paling mencorong di mata publik. Para generasi pendiri sangat bangga akan hal itu.

    Terima kasih.

Tinggalkan Balasan ke I PUTU GILI ASTIKA Batalkan balasan